SLiMS dan Sejarahnya
Senayan, atau lengkapnya Senayan Library Management System (SLiMS), adalah perangkat lunak sistem manajemen perpustakaan (library management system) sumber terbuka yang dilisensikan di bawah GPL v3. Aplikasi web yang dikembangkan oleh tim dari Pusat Informasi dan Humas Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia ini dibangun dengan menggunakan PHP, basis data MySQL, dan pengontrol versi Git. Pada tahun 2009, Senayan memenangi INAICTA 2009 untuk kategori open source .
Sejarah Pengembangan
Senayan pertamakali digunakan di Perpustakaan Departemen Pendidikan Nasional. Pengembangan Senayan dilakukan oleh SDC (Senayan Developers Community). Di koordinir oleh Hendro Wicaksono, dengan Programmer Arie Nugraha, Wardiyono. Sementara dokumentasi dikerjakan oleh Purwoko,
Sulfan Zayd, M Rasyid Ridho, Arif Syamsudin. Pada Januari 2012,
developer SLiMS bertambah 2 orang, yaitu: Indra Sutriadi Pipii
(GOrontalo) dan Eddy Subratha (Jogjakarta).
Selain itu, ada pula programmer Tobias Zeumer
(tzeumer@verweisungsform.de), dan Jhon Urrego Felipe Mejia
(ingenierofelipeurrego@gmail.com). Situs resmi SLiMS, saat ini ada di http://slims.web.id
Menurut Hendro Wicaksono dan Arie Nugraha, anggota tim pengembang
Senayan, program manajemen perpustakaan ini pertama kali dikembangkan
pada November 2006. Waktu itu, para pengelola Perpustakaan Departemen
Pendidikan Nasional di Jakarta tengah kebingungan karena program
manajemen perpustakaan Alice habis masa pakainya. Alice adalah perangkat
lunak bikinan Softlink sumbangan Pusat Kebudayaan Inggris, British
Council.
Departemen tak memiliki anggaran untuk memperpanjang masa pakai
Alice. Selain itu, Alice adalah produk tidak bebas (proprietary) yang
serba tertutup. Staf perpustakaan sulit mempelajari program tersebut.
Alice bahkan tak dapat dipasang di server atau komputer lain, sehingga
tidak dapat didistribusikan ke perpustakaan di lingkungan departemen
tersebut.
Hendro lantas mengusulkan ke Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat,
yang memayungi perpustakaan di departemen itu, untuk membuat program
baru sebagai pengganti Alice. ”Karena awalnya dikembangkan dengan uang negara, harus bisa diperoleh secara bebas oleh masyarakat,” katanya.
Software baru itu kemudian dikembangkan dengan General Public
License, sistem perizinan yang lazim digunakan dalam perangkat lunak
berbasis sumber terbuka. Perizinan ini mensyaratkan agar software
tersebut harus dapat digunakan, dipelajari, diubah, dan didistribusikan
ke pihak lain secara bebas.
Pada awalnya Hendro dan Arie Nugraha, pustakawan lain di sana,
mencari perangkat lunak yang sudah jadi, tapi terbentur sejumlah
masalah. Beberapa peranti lunak, seperti PHP MyLibrary dan OpenBiblio,
ternyata kurang serius menerapkan prinsip pengembangan aplikasi dan
basis data. Dalam basis data yang bagus, misalnya, tabel pengarang dan
buku harus terpisah. ”Nah, software yang ada waktu itu menggabungkan
keduanya, sehingga tabel itu jadi lebih rumit karena memuat data
pengarang 1, pengarang 2, dan seterusnya,” kata Hendro.
Teknologi yang digunakan dalam software itu pun umumnya memakai
bahasa pemrograman Perl dan C++ yang relatif lebih sulit dipelajari oleh
para pustakawan departemen yang tak punya latar belakang ilmu teknologi
informasi. Selain itu, beberapa perangkat lunak tersebut sudah tidak
aktif atau lama sekali tidak muncul versi terbarunya.
Dengan berbagai pertimbangan itu, mereka memutuskan membuat perangkat
lunak yang baru sama sekali dengan memanfaatkan bahasa pemrograman PHP
dan basis data MySQL, yang mereka pelajari secara otodidak. ”Kami semua berlatar belakang pustakawan. Kebetulan kami suka pada teknologi informasi dan sama-sama mempelajarinya,” kata Arie.
Karena awalnya dikembangkan di perpustakaan yang berlokasi di kawasan
Senayan dan nama itu dirasa cocok dan punya nilai pasar yang bagus,
aplikasi sistem perpustakaan itu pun dinamai seperti tempat
kelahirannya.
Senayan berukuran kecil dan sangat mudah dipasang di komputer, baik
yang memakai sistem operasi Linux maupun Windows. ”Besar seluruh file
program, termasuk program Linux, kurang dari 1 gigabita,” kata Arie saat
menjaga gerai Senayan di pameran Global Conference on Open Source di
Hotel Shangri-La Jakarta, 27 Oktober lalu.
Meski dibangun di atas platform GNU/Linux, Senayan bisa berjalan
hampir di semua sistem operasi komputer, termasuk Windows dan Unix.
Untuk memudahkan interaktivitas pengguna, aplikasi ini juga memakai
teknologi AJAX (Asynchronous JavaScript and XML) untuk tampilannya di
peramban. Beberapa software bersumber terbuka lain juga dipasang di
Senayan untuk memperkaya fiturnya, seperti genbarcode untuk pembuatan
barcode, PhpThumb untuk menampilkan gambar, dan tinyMCE untuk
penyuntingan teks berbasis web.
Yang terpenting, Senayan dirancang sesuai dengan standar pengelolaan
koleksi perpustakaan, misalkan standar pendeskripsian katalog
berdasarkan ISBD yang juga sesuai dengan aturan pengatalogan Anglo-American Cataloging Rules. Standar ini umum dipakai di seluruh dunia. ”Karena
yang mengembangkan adalah para pustakawan, kami berani menjamin bahwa
aplikasi ini sesuai dengan standar yang dibutuhkan pustakawan di dalam
dunia kerjanya,” kata Hendro.
Untuk mengembangkan Senayan, Hendro dan Arie mengajak anggota di
mailing list ISIS (ics-isis@yahoogroups.com)—kelompok diskusi para
pustakawan pengguna perangkat lunak manajemen perpustakaan milik
UNESCO—bergabung. Beberapa pustakawan lain menanggapi rencana mereka,
bahkan turut membantu mengembangkan peranti lunak itu.
Jadilah Senayan versi beta yang hanya beredar di kalangan pustakawan
di kelompok diskusi itu. Merekalah yang menguji dan kemudian memperbaiki
bolong-bolong dalam program tersebut. Akhirnya, setelah program itu
dirasa cukup stabil, Senayan dirilis ke publik pada November 2007,
bertepatan dengan ulang tahun Perpustakaan Departemen Pendidikan
Nasional yang ketiga.
Sebenarnya Senayan belum sempurna saat itu, tapi Hendro merasa bahwa
program ini harus segera digunakan, terutama agar pustakawan di
kantornya terbiasa dengan program baru ini dan mempercepat migrasi dari
Alice. ”Semula kami pakai program Senayan dan Alice secara bersamaan,
tapi ketika pengunjung sedang ramai, para pustakawan cenderung memakai
Alice. Akhirnya kami matikan Alice sama sekali, dan mereka terpaksa
hanya memakai Senayan,” kata Hendro.
Seperti yang mereka perkirakan sebelumnya, beberapa kegagalan terjadi
ketika program itu dijalankan. Arie, yang bertugas menjaga kelancaran
migrasi itu, mendapat keluhan bertubi-tubi dari para pengguna dan harus
langsung memperbaiki program itu. ”Bugs (gangguan pada program) memang
masih banyak pada program awal ini,” kata Arie, yang kini menjadi dosen
teknologi informasi di almamaternya, Universitas Indonesia.
Tiga bulan berikutnya, Hendro mengundang beberapa pustakawan yang
aktif di mailing list ISIS untuk menghadiri Senayan Developer’s
Day—acara perekrutan tenaga pengembang program itu. Dari acara tersebut,
terpilihlah empat nama: Purwoko, pustakawan Fakultas Geologi
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; Wardiyono, programer sebuah
organisasi lingkungan; Sulfan Zayd, pustakawan di Sekolah Mentari; dan
Arif Syamsudin, pustakawan di Sekolah Internasional Stella Maris.
Selama tiga hari para pustakawan terpilih itu berkumpul dan
berkonsentrasi dalam penambahan fitur, perbaikan, dan pembaruan dokumen
Senayan. Hasilnya, mereka meluncurkan Senayan versi yang lebih stabil
dan dokumen program. Maret tahun berikutnya mereka berkumpul kembali
dengan kegiatan yang sama.
Belakangan, mereka mendapat bantuan dari Tobias Zeumer, programer di
Jerman. Zeumer mengganti program multibahasa Senayan dengan PHP Gettext,
standar program multibahasa di lingkungan peranti lunak sistem terbuka.
”Dia peduli pada pengembangan Senayan dan salah satunya adalah
menambahkan fitur bahasa Jerman pada Senayan,” kata Hendro.
Selain terus memperkaya Senayan, tim pengembang terus membuat paket
program untuk memudahkan pemasangan. Paket yang disebut Portable Senayan
(psenayan) ini berisi program Senayan, Apache (program untuk server),
PHP, dan MySQL. Pengguna tinggal mengopi, mengekstrak, dan langsung
menggunakannya pada komputer atau server masing-masing.
Ketika dirilis pertama kali, Senayan baru diunduh 704 kali. Angka ini
melonjak menjadi 6.000 kali lebih pada Desember 2007 dan 11 ribu lebih
Januari 2008. Adapun pada Oktober lalu program itu sudah diunduh hampir
27 ribu kali. Dengan demikian, total sudah 250 ribu kali lebih program
itu diunduh.
Karena dapat diunduh secara bebas, Hendro dan kawan-kawan tak tahu
persis berapa banyak pengguna aplikasi ini. Tapi sedikitnya ada sekitar
218 perpustakaan dan lembaga lain yang mengaku memakai Senayan, seperti
Pusat Studi Jepang UI, Perpustakaan Kedokteran Tropis UGM, Sekolah
Indonesia-Kairo di Mesir, Perpustakaan Indonesian Visual Art Archive,
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta,
Rumah Sakit M.H. Thamrin Cileungsi, Institut Bisnis dan Informatika
Indonesia, serta Perpustakaan Umum Kabupaten Pekalongan.
Senayan kini sudah berkembang jauh. Ia tak hanya menampilkan data
buku, tapi juga dapat menampilkan gambar, suara, buku elektronik, dan
bahkan video. Hendro dan timnya juga sedang mengembangkan agar setiap
server pengguna Senayan dapat saling ”bicara”, sehingga nanti dapat
dibangun sebuah gerbang pencarian data buku dalam jaringan yang dapat
menelusuri semua katalog. ”Nanti akan ada sebuah gerbang agar pencarian
buku cukup melalui satu situs saja,” kata Arie.
Lisensi
Karena pertama kali dikembangkan dengan dana APBN, maka untuk
menjamin agar SLiMS bisa digunakan, didistribusikan dan dimodifikasi
dengan bebas oleh seluruh rakyat Indonesia, SLiMS dirilis dengan lisensi
GNU General Public License versi 3.
0 komentar:
Posting Komentar